Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kaliman Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong
dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton.
Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan
komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih
hidup.
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda
yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda
tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana
Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan
kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).
Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak
ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh
lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan
tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para
pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa banjar
dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang
terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem
kekerabatan atau kekeluargaan.
Seni drama tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan
masyarakat kalimantan pada umumnya. Bahkan, beberapa waktu silam seni
lakon Mamanda rutin menghiasi layar kaca sebelum hadirnya saluran
televisi swasta yang turut menyaingi acara televisi lokal. Tak heran
kesenian ini sudah mulai jarang dipentaskan.
Dialog Mamanda lebih kepada improvisasi pemainnya. Sehingga
spontanitas yang terjadi lebih segar tanpa ada naskah yang mengikat.
Namun, alur cerita Mamanda masih tetap dikedepankan. Disini Mamanda
dapat dimainkan dengan naskah yang utuh atau inti ceritanya saja.
SEJARAH
Asal muasal Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka tahun 1897. Dulunya di Kalimantan Selatan bernama Komedi Indra Bangsawan.
Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan
melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek
atau lebih tenar dengan Badamuluk. Kesenian ini hingga saat ini lebih
dikenal dengan sebutan mamanda.
Bermula dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka (1897 M) yang
dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa di Tanah Banjar,
kesenian ini dipopulerkan dan disambut hangat oleh masyarakat Banjar.
Setelah beradaptasi, teater ini melahirkan sebuah teater baru bernama
"Mamanda".
ALIRAN DAN NILAI BUDAYA
Mamanda mempunyai dua aliran. Pertama adalah Aliran Batang Banyu yang hidup di pesisir sungai daerah Hulu Sungai yaitu di Margasari. Sering juga disebut Mamanda Periuk. Kedua adalah Aliran Tubau yang bermula tahun 1937 M. Aliran ini hidup di daerah Tubau, Rantau. Sering dipentaskan di daerah daratan. Aliran ini disebut juga Mamanda Batubau. Aliran ini yang berkembang di Tanah Banjar.
Pertunjukkan Mamanda mempunyai nilai budaya Yaitu pertunjukkan
Mamanda disamping merupakan sebagai media hiburan juga berfungsi sebagai
media pendidikan bagi masyarakat Banjar. Cerita yang disajikan baik
tentang sejarah kehidupan, contoh toladan yang baik, kritik sosial atau
sindiran yang bersifat membangun, demokratis, dan nilai-nilai budaya
masyarakat Banjar.
Bermula, Mamanda mempunyai pengiring musik yaitu orkes melayu dengan
mendendangkan lagu-lagu berirama melayu, sekarang beralih dengan iringan
musik panting dengan mendendangkan Lagu Dua Harapan, Lagu Dua Raja,
Lagu Tarima Kasih, Lagu Baladon, Lagu Mambujuk, Lagu Tirik, Lagu Japin,
Lagu Gandut , Lagu Mandung-Mandng, dan Lagu Nasib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar