Tapih atau sarung merupakan sandang yang terdapat di
belantara budaya Nusantara. Istilah ‘tapih’ sudah dikenal secara luas
karena semua masyarakat mengenakan tapih dalam kehidupan sehari-hari.
Ada yang digunakan sebagai selempang di bahu, ada yang dikenakan dalam
ikatan di pinggang, serta selimut ketika tidur. Masyarakat di
Banjarmasin mengenal tapih sebagai pakaian sehari-hari yang melekat di
tubuh, digunakan untuk tutup kepala buat wanita, dijadikan selimut
tubuh ketika duduk di warung pada subuh hari yang dingin, dijadikan
kewajiban yang sakral untuk beribadah shalat maupun mengaji, malah
dijadikan ayunan bayi tidur bapukung dan semboyan adat duduk
bagi pengantin waktu akad nikah dan aqiqah anak. Sesuatu yang menarik
adalah ketika para gadis mandi turun ke sungai, maka tapih akan
diselimutkan pada tubuh dengan mengikat kedua ujung di bahu kanan.
Sementara kaum ibu menutup tubuh dengan tapih di batas dada seraya
melingkarkan handuk di bahunya. Tapih pun menjadi alat permainan remaja
dan gadis sambil mandi bercebur membuat gelembung tapih ketika sore
hari di sepanjang tepi sungai atau permainan remaja putra dan putri
dalam bakalumbun tapih sebagai cara menebak sesorang di balik tapih yang tertutup.
Berbeda motif antara tapih kaum lelaki dan perempuan, untuk para
lelaki umumnya tapih dengan motif kotak atau garis silang mirip papan
catur dengan warna biru muda atau kombinasi hitam dan merah. Sementara
kaum wanita memiliki motif bunga atau daun berwarna coklat muda dan
merah dengan dasar putih. Tidak semua orang terampil memakai tapih
karena bisa kedodoran, kaum lelaki harus menekan di bawah dagu bagian
tengah tapih kemudian membentang kencang kiri dan kanan, lalu menarik
tapih sebelah kiri ke dada diikuti ujung tapih sebelah kanan dan
menutup dengan ujung tapih yang di dagu tadi sehingga mudah digulung ke
bawah sebatas pinggang. Sementara kaum wanita lebih mudah, cukup
melipat dua tapih di bagian perut dan menyemat salah satu ujung tapih
pada sisi kiri. Tentu beda tapih yang disebut bahalai panjang
karena menggunakan babat yang memutar pinggang sebagai penguatnya.
Adalagi tapih berukuran pendek dalam busana adat pengantin pria yang
berbentuk ikat pinggang dengan motif halilipan merayap dibalut sulaman
benang emas
Meski saat ini dikatakan zaman modern dalam fashion, anak remaja
dan kawula muda masih suka memakai tapih. Hal ini terlihat dari
perayaan agama yang dihadiri mereka dengan tetap menggunakan tapih
sebagai simbol beribadah. Walaupun terkadang hanya sebagai hiasan di
bahu atau dibelitkan pada pinggang dengan kopiah haji bertengger di
kepala. Dan, remaja puteri yang mandi ke sungai masih tetap berselimut
tapih di tubuhnya sebagai simbol masih lajang. Tampaknya tapih yang
dalam budaya banjar menjadi bagian tak terpisahkan dalam prilaku
sehari-hari sehingga pantas diangkat menjadi icon kunjungan pariwisata
dengan menghadiahkan ‘tapih banjar’ di samping kain sasirangan.